Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label history. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Agustus 2010

A Brief Visiting But Truly Shocking to Cambodia Genocide Sites (part. 2)

Tuol Sleng Genocide Museum

Setelah membahas sedikit tentang Ladang Pembantaian di Cheoung Ek yang masih mampu membuat ane mimpi buruk malam-malam, ane mau membahas tentang situs lain yang sama kejamnya. Penjara Genosida Tuol Sleng.

Tampak depan bangunan museum

Sel-sel tahanan dari balok bata yang sangat sempit.

Sebenarnya, sebelum bangunan bersejarah ini dialih fungsikan jadi tempat pembantaian, ia merupakan sebuah sekolah (SMA) bernama Chao Ponhea Yat. Ketika Pol Pot berkuasa, SMA itu diubah menjadi penjara yang terkenal, Security Prison 21 (S-21). Jadi, selain melakukan pembantaian masal di killing field, mereka juga membangun opsi siksaan lain yang tidak kalah kejamnya disini.
Tuol Sleng sendiri memiliki arti "Hills of the Poisonous Trees" alias bukit dengan pepohonan beracun. Sekolah tersebut disulap jadi tempat layaknya di film SAW. Pagar dengan kawat berduri mengelilingi area tersebut, jendela-jendela diisolasi dengan lempengan besi agar mencegah tawanan menyelinap keluar. Kelas-kelas diubah menjadi sel-sel kecil-kecilan yang saling dibatasi dengan tembok bata. Sungguh maksa sekali cecunguk-cecunguk komunis itu. Selain itu, tentu saja mereka memasang sejumlah peraturan disana.
Papan bertuliskan peraturan penjara dengan bahasa Inggris ngawur, serius.

Para korban yang biasanya diculik begitu saja mencakup berbagai profesi seperti guru, dokter, profesor, jurnalis, petani, pedagang, dan sebagainya. Anak-anak, remaja, dan perempuan diperlakukan sama. Perempuan lebih parah karena mereka mengalami penganiayaan seksual sebelum dibunuh. Mereka ditawan bertujuan untuk memberi tahu informasi lebih jauh kepada tentara mengenai para pemberontak lain. Biasanya tiap orang disuruh memberi tahu hingga 15 orang nama lain kalau tidak maka mereka akan diberi siksaan berupa direbus ataupun disetrum. Kuku-kuku mereka semua dicabut paksa dan beberapa bahkan diberi siksaan seperti bor kepala.
Salah satu sel tahanan yang lumayan besar, ranjang besi itu digunakan untuk menyiksa seseorang
Tempat ini memiliki 1.720 staf penjara yang brutal-brutal. Gambaran penyiksaan itu sebenarnya dilukis ditembok tembok penjara berbentuk mural-mural. Tapi gambarnya sangat seram dan ane rasa tidak perlulah ane pajang di blog ane. Sebab betul-betul brutal.

Foto-foto tawanan yang dipajang. Bukan sesuatu yang enak dilihat sebenarnya.
Peta negara Kamboja yang disusun komunis dengan menggunakan tengkorak para korban
Pada tahun 1979, Ho Van Tay, seorang fotografer asal Vietnam, akhirnya mengungkapkan keberadaan penjara tersebut dan mengeluarkan ratusan foto dokumentaris asli. Ia dan kawan-kawannya mengikuti aroma busuk mayat sampai ke gerbang penjara. Lalu disanalah mereka menemukan situs tersebut. Mayat-mayat disana sedang membusuk dan terlantar.
Sampai sekarang kedua situs itu masih dipertahankan berikut alat-alat penyiksa, baju-baju tawanan yang berdarah, dan kerangka-kerangka mereka. Mungkin mereka menyimpan itu semua untuk mengingatkan setiap orang bahwa manusia bisa saja lebih kejam kepada sesamanya demi memperjuangkan idealisme usang seperti komunisme. Ane cuma bisa berharap semoga dunia tidak lagi perlu menyaksikan tragedi pembantaian seperti ini. Sebab kalau mereka melakukan lagi, entah azab apa yang ditimpakan Tuhan buat kita semua.

Sumber :
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Killing_Fields
http://forum.detik.com/showthread.php?t=80515
http://www.asal-usul.com/2009/04/khmer-merah-lembar-sejarah-kelam.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Tuol_Sleng_Genocide_Museum
my self-experience, definitely.

Untuk mengetahui lebih jelas gambaran teror Khmer Merah kau bisa tonton film terkenal The Killing Field (1984) yang dibintangi juga oleh korban yang selamat dari pembantaian, Haing S. Ngor

Sabtu, 14 Agustus 2010

A Brief Visiting But Truly Shocking to Cambodia Genocide Sites (part. 1)



Ane ngepost lagi untuk ketiga kalinya hari ini. Hehe, mumpung liburan kan? Tapi kali ini mungkin agak panjangan dan sedikit mirip kuliah sejarah. Soalnya yang ane bahas rada historik dan sejujurnya, seram. Semuanya pasti inget zaman ketika negara kita sendiri dikuasai oleh teror dari Partai Komunis Indonesia? Pasti sudah sering mendengar kisah-kisah kekejaman mereka seperti tragedi G-30-S/PKI. Meskipun korban yang berjatuhan tidak hanya dari orang-orang angkatan bersenjata dan kepolisian tapi juga dari warga sipil yang tak berdosa. Sekarang ane mau sedikit membahas tentang kisah serupa dalam sejarah negara tetangga kita di Utara, tepatnya Kamboja, yang kebetulan ane sudah pernah kesana tahun 2007 dulu. Tiga tahun berlalu sejak kunjungan tersebut ane masih bisa merasakan merinding bercampur sedih tiap kali mendengar bagian dari sejarah kelam negara tersebut.

Setelah terbebas dari penjajahan Perancis tahun 1953, Kamboja tahun 1975-1979 pernah dikuasai oleh satu rezim dari partai komunis bernama Khmer Merah dibawah pimpinan Pol Pot. Saat itu Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai negara baru. Ia menyebut Tahun 1975 sebagai "Year Zero" sebab ia berpikir untuk memulai sejarah baru Kamboja dengan ideologi miliknya. Setelah berhasil menumbangkan kekuasaan raja Norodom Shihanouk, ia beserta partainya Khmer Merah mendominasi Kamboja.


Teror


Hanya dalam beberapa hari kekuasaan saja, mereka melakukan banyak sekali tindak kekejaman. Semua pemberontak ditangkap dan dibunuh. Tidak terkecuali anak-anak dan wanita. Jumlah korban sampai sekarang diperkirakan tidak kurang dari 2 juta orang. Bayangkan. Padahal sesama warga Kamboja. Lebih jauh, sesama manusia! Barangkali 2 situs yaitu The Killing Field (Ladang Pembantaian) dan penjara genosida Tuol Sleng adalah yang paling terkenal diantaranya. Ane sendiri sempat mengunjungi keduanya, tapi sayang tidak ada fotonya--bisa dicek di salah satu link ane. Keduanya adalah saksi bisu kekejaman rezim Khmer Merah. 

THE KILLING FIELD


The Killing Field alias "Ladang Pembantaian" adalah areal kosong tempat pembantaian warga sipil dilakukan. Suatu sumber menyebutkan ada total 343 ladang pembantaian di seluruh Kamboja. Kebetulan sewaktu kesana, ane mendatangi the biggest Killing Field di Kamboja di Choeung Ek. Dimana disana pernah sekitar satu juta nyawa dibantai dengan kejam, Sampai sekarangpun horor yang menyelimuti tempat tersebut begitu terasa. Kau pasti pernah merasakannya, seperti saat datang ke situs Lubang Buaya di Jakarta, tapi yang ini lebih bikin mual lagi. Memang sedikit menyebalkan juga mengingat foto-foto kunjungan ane hilang gara-gara laptop rusak. Di area tersebut, aku tidak bercanda ya, kalau kau menggali sedikit saja permukaan tanahnya, kau bisa menemukan semacam gigi atau serpihan tulang manusia. Area itu sendiri memang belum sepenuhnya dibongkar. Lusinan tulang maupun tengkorak bertebaran diatasnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Univesitas Yale mnegungkapkan bahwa jumlah korban dibantai disana mencapai 1.386.473 nyawa. Termasuk yang dibantai diantaranya adalah etnis Cina, Thailand, dan muslim Kamboja. Jumlah sebanyak itu, bisa kau bayangkan bagaimana tanah disana tenggelam oleh bergalon-galon darah?



Lubang-lubang berikut adalah tempat mayat-mayat korban ditumpuk lalu dibakar

 
Tampak belakang dari sebuah memorial berbentuk kuil Buddha, bangunan ini bertujuan untuk menghormati para arwah korban. Sering diadakan upacara keagamaan untuk menenangkan arwah disini. Didalamnya termasuk lemari kaca tinggi yang berisi tengkorak manusia. Bisa kaulihat disitu?
Yang seram lagi, tentu saja pembantaian anak-anak dan wanita. Mereka dibawa dengan truk kesana lalu dipenggal dengan menggunakan semacam dahan pohon yang sangat tajam (guide tournya waktu itu sempat memeragakan ketajaman tumbuhan itu dengan memotong sebuah botol plastik air mineral dengan sekali sabet). Bayi-bayi lebih parah. Mereka dibunuh dengan cara dipegan ujung kedua kakinya, mirip dengan seseorang yang menggenggam bat pemukul bola kasti, lalu memukulkan kepala bayi tersebut kesebuah pohon besar. Jujur saja, waktu penjelasan itu, ane sempat menangis sedikit. Bagaimana tidak menangis? Belum lagi orangtua si guide tour itu sendiri merupakan korban pembantaian. Ia sendiri--syukurlah--mampu melarikan diri ke Thailand. 
Tengkorak yang dipajang dalam kuil memorial di Cheoung Ek


The Trail of Tears : Jejak Airmata Indian Cherokee

 SEKILAS TENTANG INDIAN

Kebanyakan dari kita jika mendengar mengenai kaum Indian, suku penghuni asli Amerika, maka yang terbayang adalah sekelompok manusia berkulit coklat kemerahan yang mencoreng wajahnya dengan hiasan bulu di kepala, pandai memanah, dan berkuda.. nomaden dan tinggal di kamp-kamp berbentuk kerucut. Meskipun bayangan itu benar, tapi kita belum terlalu mengenal mereka. Tulisan ini dikutip dari berbagai sumber dan bertujuan bukan hanya memberi sedikit gambaran bagaimana perlakuan para pendatang Amerika terhadap para penghuni asli, tapi juga tentu saja untuk menarik kesimpulan dan pelajaran, semoga bermanfaat.


Trail of Tears adalah salah satu bagian dari sejarah gelap permulaan Amerika Serikat yang jarang dibahas. Pada dasarnya, ketika para kaum pendatang--(disini yang dimaksud adalah para pendatang yang akhirnya mendirikan koloni-koloni yang jadi cikal bakal negara-negara bagian Amerika Serikat) yang kebanyakan berasal dari Inggris--melakukan kontak dengan suku Indian, diantara mereka ada yang bersikap baik namun ada pula yang berlaku kasar. Mereka membutuhkan para Indian untuk mengenalkan ilmu bercocok tanam lalu sebaliknya, menawarkan perjanjian damai kepada mereka seperti yang dilakukan oleh William Penn terhadap suku Indian Delaware. Meskipun demikian tetap saja sifat dasar para kaum pendatang yang rakus dan selalu haus tanah merupakan tantangan serius bagi suku Indian. Selama masa awal koloni-koloni Eropa di Amerika tersebut, baik pendatang maupun pribumi menjalin hubungan yang saling menguntungkan seperti perdagangan dan pendidikan. Telepas dari berbagai perlawanan dari mereka kepada imigran-imigran itu seperti kejadian Perang Pequot (1637) yang dilancarkan Indian untuk mencegah pembangunan pemukiman baru di area sungai Connecticut.
Kebudayaan mereka biasa diidentikan dengan hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Mungkin kalian pernah melihat film Pocahontas? Kira-kira seperti itulah gambaran kebijakan mereka dalam menghormati alam. Mereka memiliki ratusan bahasa yang berbeda antar suku. Mereka juga memiliki kepercayaan alias agama, tapi tentu saja saya tidak berniat membahas terlalu jauh karena saya hanya ingin membahas mengenai Trail of Tears alias Jejak Airmata. Jika berminat lebih jauh, silakan klik ini

TRAIL OF ETERNAL TEARS

 Begitulah pada akhirnya kaum pendatang dan Indian hidup berdampingan selama berabad-abad. diwarnai oleh berbagai pergolakan dan konflik, kaum Indian sebenarnya tak pernah menerima kenyataan bahwa suatu saat Amerika yang mereka kenal tak akan sama lagi. Kemajuan disegala bidang, seperti penemuan lokomotif dan pertanian oleh imigran itu menuntut lebih banyak sumber daya. Termasuk tanah.
Persoalan tanah memang tak pernah lekang selesai antara kedua pihak. Akhirnya semua konflik mengenai lahan itu menyulut adanya kebijakan pemerintah federal untuk "memindahkan" para Indian dari kampung halaman mereka. Presiden saat itu, Andrew jackson menyetujui sebuah kebijakan yang disebut dengan Indian Removal Act of 1830.
Peta jalur pemindahan Indian tahun 1830-1835.

Tahun 1831 adalah pemindahan pertama mereka, yaitu suku Indian Choctaw. Pemindahan ini akhirnya menjadi model rangkaian "pemindahan" selanjutnya.
Adalah Hernando DeSoto, seorang penjelajah asal Spanyol, yang pada tahun 1540 mengungkapkan adanya penemuan emas di area Pegunungan Georgia Utara. Sejak itu pencarian emas dan bahan tambang berharga lainnya berlangsung sangat gencar selama berabad-abad. Atas motivasi tersebut pulalah, tahun 1825, dimulai pemindahan para Indian penghuni Georgia, Indian Cherokee. Yang perlu diperhatikan disini adalah, para Indian Cherokee tersebut bukanlah suku nomaden. Mereka telah banyak berasimilasi dengan para imigran Eropa, mulai dari gaya berpakaian, mendirikan gereja dan sekolah, bahasa, dan seterusnya. Sehingga bukanlah hal menyenangkan bagi mereka ketika "pemindahan" besar-besaran itu dilakukan. Saat itu, dimana presiden Andrew Jackson berkuasa, pemindahan yang oleh dinamai oleh Cherokee sendiri Nunna daul Isunyi—“the Trail Where They Cried". Jejak dimana mereka menangis, telah memakan 4.000 korban jiwa, 2.000 dari Cherokee dan 2.000 dari tentara federal yang menyertai rombongan mereka. Mereka dijanjikan tanah di barat Amerika, Oklahoma, yang sekarang menjadi daerah pelestarian budaya Indian, namun semua itu sebenarnya lagi-lagi adalah masalah penemuan emas di daerah tempat Indian Cherokee tinggal. Penyelewengan itu didasari oleh sebuah perjanjian New Echota, yang berujung pada krisis hubungan antara Indian dan koloni Georgia. Presiden Andrew Jackson sendiri sepertinya enggan memanfaatkan kekuasannya untuk membela hak para Indian Cherokee.

PERJALANAN



Musim dingin yang kejam tahun 1838, para Cherokee memulai perjalanan ribuan mil mereka yang dimulai dari Red Clay, Tennessee, ke Oklahoma dengan wagon bersama ternak-ternak mereka. Mereka diberi selimut oleh rumah sakit setempat, namun tidak cukup. Akibatnya tentu saja banyak diantara mereka yang bertelanjang kaki tanpa sepatu ataupun mokasin (sandal khas Indian). Kedinginan dan kelaparan, mereka melanjutkan perjalanan tanpa bisa berhenti untuk singgah di desa-desa. Sebab oleh wabah cacar yang melanda saat itu, para penduduk imigran melarang kedatangan mereka karena takut tertular. Beberapa Cherokee bahkan dibunuh oleh penduduk lokal. Ketika mereka sampai di Golconda, Illnois Selatan, pada tanggal 3 Desember 1838, mereka berniat hendak menyebrang sungai dengan kapal Barry's Ferry. Para kru kapal mengharuskan mereka membayar 12 dolar per-kepala yang mana semestinya hanya 1 dolar saja. Kehabisan bekal dan uang mereka tidak diizinkan menyebrang dan terpaksa menunggu orang-orang menyebrang sambil berlindung dari salju dibawah tebing Mantle Rock. Banyak dari mereka yang karena terlalu lama menunggu, mati kedinginan sambil berangkulan bersama.
Tanggal 26 Desember 1838, Martin Davis, komisaris agen datasemen Moses Daniel menulis : "terdapat cuaca dingin yang tak pernah kualami sebelumnya disini (Illnois), sungai-sungai membeku dengan ketebalan mencapai 8 sampai 20 inci. Kami terpaksa harus memotong es setebal itu untuk memberi minum orang-orang dan hewan ternak. Salju turun setiap dua atau tiga hari sekali. Saat ini kami sedang berkemah di rawa Mississipi, sekitar 4 mil dari sungai. dengan es setebal itu, kami benar-benar tidak tahu kapan tiba waktunya untuk menyebrang.."
Seorang tentara yang ikut berpartisipasi dalam pemindahan Cherokee berkata : "Saya telah berjuang pada perang-perang sebelumnya, namun pemindahan ini adalah pekerjaan paling kejam yang saya ketahui"

Meskipun sebenarnya tidak hanya suku Indian Cherokee yang mengalami pemindahan paksa tersebut (sebab sebelumnya juga terdapat pemindahan suku Indian Choctaw, Chickasaws, Indian Creek) namun tetap saja ini adalah salah satu bagian sejarah yang tak terlupakan. Sama menjijikkannya dengan usaha ethnic cleansing lain seperti kejahatan genosida.

Tugu Peringatan Trail of Tears New echota Historic Site
Selama perjalanan, dikatakan bahwa para Cherokee menyulut semangat mereka dengan menyanyikan lagu “Amazing Grace” Samuel Worcester, seorang pendeta yang ikut dalam perjalanan itu juga mengubah beberapa lagu gereja kedalam bahasa Cherokee. Lagu-lagu itu seakan menjadi lagu himne mereka semua.



Setidaknya meskipun kita mengenal baik betapa Amerika sangat menekankan prinsip hak asasi manusia dan kebebasan, kita sedikit mendapat gambaran, negara macam apa yang telah membangun sejarahnya dengan kaki-kaki imperialisme mereka menginjak kaum yang lebih lemah.

             buku "Garis Besar sejarah Amerika" yang terbit pertama kali tahun 1949