Gak makan waktu seminggu atau 3 hari nyelesain novel pemberian temen gw yang tersayang; The Catcher in The Rye (JD Salinger). Dengan tebal cuma 299 halaman (versi Indonesia), cuma menghabiskan sekitar 6 jam. Belum lagi sampai sekarang masih ane ulang2 dan selalu sukses bikin mulut senyum-senyum sendiri sambil ngebayangin adegan demi adegan yang lucu tapi dibalut kata-kata kasar. Sedikit memberi pengaruh yang sama seperti film Fight Club atau American Beauty.
Buku ini punya kekuatan, kalau ane mau bilang : pengaruh. Banyak buku berpengaruh. Tapi yang satu ini berbeda. Kita, terutama yang masih muda, kebanyakan akan melihat sebagian diri kita sendiri dalam karakter si protagonis utama, Holden Caulfield. Ia akan membekas di otak selama berhari-hari, sedikit memberi pandangan baru juga terhadap cara kita menyikapi sesuatu. Ane gak akan cerita konflik macam apa dalam novel ini, sebab ceritanya super sedehana. Bukan tentang konflik romantis ala Twilight atau sihir Harry Potter. Holden cuma remaja biasa dan seperti kebanyakan remaja, berusaha mencari tahu.. mencocokkan pikirannya dengan dunia, lalu seringkali terjebak dalam keraguan. Entah ragu pada diri sendiri, orang lain, agama, atau dunia. Mungkin ada yang familiar dengan masalah ini? :-)
Tapi yang pasti ini bukan review buku. Ane lagi gak kepingin menulis review dan semacamnya. Cuma opini pribadi tentang Holden Caulfield. Bagaimana ia sebenarnya gak bisa disebut bodoh juga, meskipun berkali-kali dikeluarkan dari sekolah, kecuali karena mata pelajaran Bahasa Inggris yang nilainya sangat bagus, dia tidak berminat pada pelajaran lain. Dia juga gak bisa disebut bersikap dewasa, cara pandangnya yang sinis namun tajam (dan terkadang ada benarnya juga) lebih mirip anak kecil. Di matanya dunia bermakna satu kata : munafik. Semua orang munafik. Film Hollywood munafik, iklan TV munafik, pemain piano di sebuah bar munafik, orangtua munafik, temannya munafik, sekolah munafik. Semua palsu dan memuakkan kecuali dua orang, Allie dan Phoebe adiknya.
Benar-benar pemikiran yang familiar buat ane.
Beberapa jam setelah membaca, ane masih sedikit kepikiran. Ane cukup menyukai si Holden ini, nt bisa liat dia sekarang jadi propic ane. Sesaat ane setuju bukan main dengan bocah tanggung ini. Dia seakan mewakili hampir semua yang ane rasa buat segala sesuatu. Kecuali beberapa hal, sebab film Hollywood itu keseharian ane. Dia benar2 membenci yang namanya film. Buatnya aktor itu gak pantes diapresiasi, palsu. Film Hollywood cuma bikin otak rusak. Mungkin ada benarnya juga, sih..
Holden itu kuat. Itu pemikiran pertama ane. Dengan kata-katanya yang pedas mengkritik lingkungannya. Tapi itu baru pemikiran awal. Sebab lama-lama ane merasa kasihan dengan karakter muda ciptaan JD Salinger ini, Gosh, ane bener2 kasihan padanya.. rasanya kalau bisa--seandainya dia eksis--ane mau saja memeluk dan menghibur dia dan segala macam. Serius.
Terlunta-lunta dijalan, tanpa uang dan teman. Bukan pengalaman menyenangkan. Berapa kali dia merasa pasrah pada kematian? Berapa kali dia merasa kesepian? Ane jadi berpikir, ya ampun.. orang bodoh yang menyedihkan sekali sih dia..
Jelas saja itu gambaran yang kongkrit kalau ane benar-benar kabur dari rumah sekarang. Bokek, kelaparan, kedinginan.. etc. etc.
(bahasa Indonesia ane jadi makin hancur aja)
Begini saja, kalau kita terus menerus memandang dunia dengan negatif.. meskipun dunia ini memang negatif apa adanya (jujur saja dunia ini memang munafik, kan? siapa sih yang gak paham?)----kalau kita memakai kacamata Holden Caulfield, maka kita GAK AKAN pernah bahagia. Gimana mau bahagia? Segala sesuatunya salah dimata kita. Gak ada yang berjalan dengan benar, kecuali kalau kita rela menyingkir dari hiruk-pikuk dunia dan memesan tiket pesawat untuk tinggal selamanya di belantara Amazon dan makan piranha tiap hari, mungkin masalah akan selesai. Tapi kan tidak segampang itu. Lagipula, belum tentu kita akan bahagia.
Jadi kesimpulannya ane berpikir, setiap orang pastilah pernah merasakan fase seperti Holden Caulfield. Tapi normalnya, menurut ane, tidak selamanya. Dunia kan berubah, orang-orang akan berubah. Meskipun tetap sama palsunya dunia ini. Sama menjijikkannya kalau kita mau berpikir jauh.. tapi well, kita adalah bagian dari dunia juga. Kita berkubang didalamnya. Tenggelam.
Dan kita, bagusnya, selalu punya pilihan, mau bahagia atau sengsara. Mau berusaha atau diam saja, mau berubah atau malah menutup mata. Ini pemikiran jadul tapi tetap relevan di segala masa. Hidup adalah pilihan.
Holden Caulfield, me, you, people, and the world. We're all the same. "Human in all our ways and all our pains, so let it be"--Good Charlotte.
PS : kids, that's not wasting time picking up this book and read this "The Catcher in The Rye"!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar